February 02, 2004

di hadapanmu kuletakkan ranselku kembali, setelah pengembaraan yang jauh dan melelahkan ini. aku lelah, hingga akhirnya kaki ini membawaku kembali ke hadapanmu. aku tertunduk.

ceritakan apa yang kau bawa? katamu lirih, seperti biasa. pertanyaan yang sama yang selalu terlontar saat aku kembali padamu setelah perjalanan jauh yang melelahkan.

biasanya aku bahagia dengan pertanyaanmu ini, karena itu berarti kau tak marah padaku. tapi kali ini pertanyaanmu membuatku tak berdaya. aku lumpuh kata.

kau tak pernah melarangku pergi, seberat apa pun perasaanmu. tapi kepergianku yang ini telah membuatku merasa bersalah. masih jelas di pelupuk mataku saat tanggul air matamu pecah, membentuk sungai-sungai kecil yang mengalir pada pipimu, lantas jatuh ke pangkuan.

aku memang terlalu mencintai perjalananku sendiri, meski kukatakan padamu bahwa cintaku padamu melebihi cintaku pada perjalanan yang kubuat sendiri dengan menggaris peta di atas tanah, di belakang rumahmu, di bawah pohon mangga milik kita.

kini aku kembali, dengan membawa sebuah ingatan tentangmu. aku tak menemukan apa pun selama 999 hari pengembaraan, selain wajahmu yang melepas kepergian dengan ribuan anak panah kesedihan yang memburu jantungku. setiap hari, setiap jam, setiap detik.

apa yang kau bawa? kamu mengulang pertanyaan yang sama.

aku diam.

apa? katamu semakin lirih.

rindu!