May 30, 2003

aku pikir, saat kita mendaki sebuah tebing
(lagi lagi kuibaratkan tebing) saat kita mendakinya
sendirian akan terasa letih. sendirian dgn semua rintangan
coba kalo kita terdiri dari beberapa tim. mungkin akan cepat
sampai puncak. ahh hiduppp...!!!

mungkin karna tak ada lagi pendar
pelangi dan rindang taman bunga dalam dada kita,
bahkan anak anak sungai yang kita angankan sebagai
biduk rindu yang setia mengalirkan surat cinta, maka
cuaca pun berubah. kita kehilangan tafsir untuk
memaknai luka, juga tawa yang merambat diantara
lekukan jemari rapuh yang kehilangan penyangga..


lantas kita hendak kemana dengan semua yang
sudah tak bisa lagi kita harapkan?
kau dan aku. berdua melintasi huru hara,
padahal kita menginginkan sapa juga tawa

selalu ada harapan dalam ruang ruang
bathin yang masih setia menggenggam cinta, kekasih.
seperti pekat gerhana yang tak pernah menyelimuti
jarak pandang kita sedemikian sempurna tanpa janji
cahaya bulan ditengah musim yang berangkat bimbang..


tapi aku letih, sayang!
sedang airmata tak bisa mewakilkan lagi
seluruh rasa. aku tak bisa sekedar membuat umpama
bahwa setelah gelap habislah terang
tak mungkin, jika kita tidak membuat cahaya
sendiri dari lilinlilin doa yang teruntai setiap malam

kau dan aku. semuanya. adalah anak anak
waktu yang gamang melintasi belantara yang disesaki
akar akar menjalar dengan ribuan duri runcing yang
menghunus jantung kita tanpa selembar peta yang
menghibahkan sedikit imaji tentang akhir dari
perjalanan menuju bukit cahaya. tapi cinta adalah
nyanyian abadi yang membisikkan selalu panggilan
bunda disebrang keluhmu dan keluhku yang tak lagi
mampu melidahkan segala luka. bunda, dimana hangat
peluknya menunggu dengan dua puting payudara
yang senantiasa terbuka..


dan kita akan terus bermimpi berlari ke
dekapannya yang hangat yang mampu membuyarkan
seluruh resah juga keluh meski dengan bermimpi
akan menambah lagi luka

demikianlah, kekasih. pada akhirnya
amis nanah dan perih aimata adalah leleh kotoran dari
selendang rindu dan cinta yang mesti disucikan
menjelang kehadiranmu dipengakuan bunda. dalam cahaya
dan terang sempurna..


sayang, berdoalah untukku
untuk perjalanan yang akan kita larung
bahwa seluruh luka akan menjelma cahaya
meski kita tak lagi punya apaapa
selain airmata

doaku dan doamu akan selalu mengepak,
kekasih. seperti camar yang tak mengeluhkan letih
ditas gelombang hidup yang menghantamkan bergulung
badai kepedihan. ia akan melanglang, menembus pintu
pintu langit dengan airmata yang berharap; bahwa suatu
hari, taman taman cahaya akan menyambut seluruh
genangan luka kita.


virtual room, 17 May 2003

May 20, 2003

seribu satu doa kurangkai sepanjang malam
sepanjang pendakianmu yang hanya berbekal peta kesabaran
dan aku, akan menunggumu pulang di jalan ini
jalan yang kita tapaki dengan seluruh rindu.

May 13, 2003

untukmu... sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga

ada yang menyeret jiwaku dan jiwamu pada sebuah alur kejujuran.
malam tak pernah berbohong! coba kau tengok, ada banyak dengkur dan segala sesuatu yang jika siang semuanya nampak baikbaiksa saja. padahal jika malam, begitu menjijikan.

kita telah membuat kejujuran menjadi pintalan bola salju, yang terus menerus menjadi besar, semakin besar. sampai akhirnya aku dan kau terkapar. telanjang!

malam menghantarkan matahari ke pangkuan kita, hingga musti ada geliat dan sebuah akhir dari diskusi panjang yang melelahkan mata, tapi tak juga membuatnya menutup. tak ada lagi kabut yang membuat kita merasa tak saling mengenali. seperti juga telah kita lalui malam penuh kebohongan dengan sebuah pengakuan akan dosa.

tapi kita bukan fir`aun sehingga tak perlu penyesalan seperti layaknya seorang pencuri ayam. ini hanyalah ucapan selamat datang, pada dunia baru yang akan kita masuki bersama.

dengan rindu
dengan cinta
dengan airmata

aku pun menangis bahagia dalam pelukmu.
"setelah kutuk dan doamu malam ini, aku sungguh sungguh menangis dan merasa terlempar jauh entah kemana. ada rasa luka yang tak bisa kuungkap lagi, bahwa ternyata benar, tak seorangpun yang akhirnya sanggup mengenaliku dengan tulus. bahkan pun seseorang yang kuduga dan kuharap sepanjang waktu akan mampu melakukan itu. baiklah, jika satu orang saja tak kudapatkan untuk rindu yang sederhana ini, mungkin memang jalan kesunyian dan sendiri yang mesti aku lalui"

bukankah telah kukatakan kepadamu?
bahwa ini seperti dejavu!
engkau telah mengenalnya, sebab ini telah begitu nyata dalam mimpimu.
apalah aku? perempuan dengan sejuta puisi untuk seribu lakilaki?
aku bukan rabi`ah yang senantiasa mengikat cinta sucinya. meski aku berharap, aku akan mampu sepertinya. tapi kita ternyata tak bisa saling mengenali, meski telah kita pahat besarbesar dalam jantung kita, bahwa aku dan kau akan senantiasa berbagi kisah. berbagi cerita. aku memang tak pernah memahamimu, seperti juga engkau tak paham puisiku.

tuhan, masihkah akan ada malam dengan sapanya?
ini seperti dejavu

ini seperti kembali ke masa lalu, dimana perbincangan tentang cinta dan semesta
adalah malammalam panjang milik kita yang selalu menyisakan sebuah tanya,
: hendak singgah dimana jiwa ini?
lalu kita melihat gubukgubuk dibangun sepanjang jalan yang dilalui

ratapan pun melengking sepanjang langkah, sedang luka yang memuncratkan
darah berbau amis itu masih setia dalam dada, dan alunan kecapi itu pun sepertinya
sudah tak asing lagi. kita mengenalnya jauh sebelum malam menjadi kelam

ini seperti dejavu!
tapi kita lantas cepat menjadi yakin
bukankah kita tak pernah duduk di bangkubangku dengan bayangan yang sama?*

kita tidak kembali ke masa lalu, tapi kita tak lagi asing
sebab pernah dalam mimpimu, ini begitu nyata.

*) dikutip dari puisi W. Haryanto yang berjudul "Jalan-jalan Penuh Nyanyian"

May 11, 2003

akulah sungai itu

akulah sungai yang bermuara tanpa tujuan
yang menggeliat dengan belaian matahari
yang menjadi cermin dari wajahwajah penuh luka

akulah sungai yang mengalirkan seribu satu cerita
dari anakanak negeri yang teraniaya
ada darah yang mengalir
ada sampah yang menyumbat
ada ikan yang mati karena busa
ada engkau yang setia membasuh kaki di tepian

akulah sungai itu
yang telah memendam seluruh bahasa semesta
menjadi bahasa bumi paling purba

BumiAllah, 12 Mei 2003

May 08, 2003

perjalanan belum saatnya diselesaikan, tapi telah kutuntun penaku
mengakrabi peta yang kau buat di jendela. seperti rindu ibu
pada tangis pertama makhluk di rahimnya, seperti itu pula kurindui
seluruh cuaca yang mampu mengantarku pada peristirahatan pertama.

tangkap mimpiku dan rasai, disana akan kau temukan betapa besar
rinduku pada kampung halaman. seperti rinduku pada patahan huruf
hurufmu yang takkan pernah padam.

May 07, 2003

selebihnya adalah jarak yang dituntun menuju muara rasa
iring iringan pengantar jenazah itu telah lewat sejak lama
dan kita telah melewati seribu satu peristiwa
hingga kita menemukan kembali sebuah sungai bening
: tempatmu membasuh muka, mengambil wudhu lalu istirah di batubatu

tak ada yang tak mungkin di telapak tangan-Nya.